» » Pulau Batam

Pulau Batam dimasa lalu “Tidak banyak yang memberi catatan tentang Pulau Batam”. Demikian pengakuan Pemerintah Kota Batam melalui buku profilnya. Batam sempat di sebutkan pada Traktat London Tahun 1824. Dari naskah kuno milik Raja Kamarudin, salah satu tokoh di wilayah Kampung Melayu Jodoh, di terangkan bahwa tokoh penduduk Melayu sejak jaman raja-raja Kerajaan Riau, banyak yang menikah dengan orang-orang bugis. Orang bugis yang jiwanya pelaut dan perantau itu sering memakai Pulau Batam sebagai Batang atau jembatan untuk melanjutkan perjalanan di lautnya. Mereka sering mengatakan pulau itu sebagai pulau Batang, maka lambat laun penduduk asli mengatakan pulau Batam. Sedangkan Riau merupakan asal kata dari riuh, yang artinya ramai. Pasalnya sejak aman Kerajaan Melayu memang di kenal dengan riuh. Sayangnya naskah milik Raja Kamarudin tidak bisa di selamatkan saat kebakaran yang memusnahkan Kampung Melayu.
Berikut catatan Naskah milik Raja Kamarudin. Tahun 231 M, Pulau Batam telah duni suku laut. Suku lau adalah suku melay asli yang mendiami pulau-pulau di selat Malaka dan Selat Singapore. Tahun 1300 M, Pulau Batam di kuasai oleh Kerajaan Tumasik yang berada di Pulau Singapore sekarang. Pada masa Kerajaan Malaka Berjaya,Pulau Batam dikuasai Kerajaan Malaka dengan pengawasan Laksamana Hang Tuah. Setelah kerajaan Malaka jatuh, Pulau Batam di kuasai Laksamana Hang Nadim yang berkedudukan di Pulau Bentan, atau sekarang Pulau Bintan. Sepeninggal Hang Nadim, Pulau Batam di bawah pengaruh Sultan Johor. Sekitar tahun 1800 hadir Kerajaan Riau Lingga yang menguasai Kepulauan Riau termasuk Pulau Batam, yaitu Yang Dipertuan Muda Riau sampai berakhirnya Kerajaan Melayu Riau yang berpusat di Lingga berpisah dengan Kerajaan Johor, maka Yang Dipertuan Besar kemudian Kerajaan Melayu Lingga Riau dimekarkan menjaid tiga kesultanan, yakni Kesultanan di Daek Lingga, Kesultann Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan Tumenggung Abdul Jamal di Pulau Bulang. Kedatangan orang Belanda yang semula hanya berdagang pada akhirnya menjajah seluruh Nusantara termasuk Pulau Batam dalam genggamannnya. Penjajah Belanda sering di rompak di daerah Selat Malaka, diantara perompak itu adalah Laksamana Ladi, yang sreing sembunyi di sungai. Sekarang sungai tempat persembunyiannya itu di sebut Sei Ladi yang kini telah berubah menjadi Dam Sei Ladi.
Pulau Batam di Masa Kemerdekaan Pulau Batam di masa revolusi. Pemeritah di sibuki dengan peperangan di kota-kota dan bergerilya di pegunungan dan perkampungan karena kemerdekaan Indonesia direbut dari kaum Penjajah Belanda, sehingga Belanda dengan segala cara ingin kembali menguasai Indonesia. Berbeda jauh dengan Penjajah Inggris yang memerdekakan Malaysia bahkan Singapura dengan perdamaian. Dampak dari revolusi Indonesia, oleh pemerintah Indonesia Batam di biarkan statusnya sama dengan sebah pedesaan, tidak ada perhatian, padahal wilayah Batam hamper sama dengan Singapore. Ibu kota kecamatan pun berpindah-pindah dari Pulau Buluh sampai ke Pulau Belakang Padang. Sedangkan Dinas Pendidikan Kecamatannya berada di Tanjung Uban yang berada di Pulau Bintan. Hubungan telekomunikasi Radio dari RRI Tanjung Pinang, akan tetapi suaranya tidak jelas. Sedanga televise dari Jakarta tidak masuk sama sekali ke wilayah Batam, sedangkan yang masuk lebih leluasa adalah televise Singapore dengan jumlah lebih dari 5 chanel. Sehingga bila tiba di Pulau Batam, pada tahun 1980-an, bagi masayarakat Batam akan lebih popular Lee Kwan Yu, seorang Perdana Menteri Singapore ktimbang Jendral Soeharto, Presiden Republik Indonesia. Bisa dikatakan tidak ada perubahan kebijakan pada Pulau Batam, di segala bidang, baik bidang telekomunikasi udara dan pembangunan Pulau Batam. Dan nasibnya sama seperti Pulau Ligitan. Dimasa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia (Singapura masih wilayah Malaysia) dengan DWIKORA nya, Pulau Batam di banjiri sukarelawan dan tentara yang berniat berperang untuk mengganyang Malaysia dengan markasnya di Batu Ampra dan Tanjung Sengkuang dengan Duriangkang, dan yang terjadi warga Batam “kekeringan penghasilan”, karena tidak bisa lagi berusaha dengan warga Singapura yang saat itu masih menjadi bagian wilayah Malaysia. Di masa orde baru pimpinan Presiden Suharto, masalah strategis di utamakan, diantaranya kebijakan yang popular yaitu menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tekhnologi komunikasi, maka di belinya Satelit Palapa dengan didirikannya tower-tower pemancar radio dan televisi termasuk juga di Pulau Batam. Sehingga radio dan televise nasional dan swasta Indonesia bisa dinikmati di Pulau Batam. Perubahan Pulau Batam mengalami mengalami kemajuan pesat saat di ketuai Prof. DR. Ing. BJ Habibie, Ketua Otorita. Ketua Otorita Batam memindakan kantor Otorita Batam dari Singapore ke Sekupang Batam yang pelaksana hariannya di tunjuk Brigjen TNI Soedarsono selaku KABALAK Otorita Batam, yang artinya semuaa urusan dapat di selesaikan di Pulau Batam. Sekitar 500 an investor asing dna domestic mendukung konsepsi Bapak Habibie, hingga akhirnya Pulau Batam “kebanjiran” pembangunan, mulai dari lapangan udara bertaraf internasional, jalan-jalan di aspal, industri yang di bangun pihak swasta, pelabuhan laut yang dibangun di beberapa titik. Ada yang tidak terjangkau oleh pemikiran kaum teknokrat di otorita Batam, yaitu banyaknya pembangunan berarti mengalirnya urbanisasi besar-besaran. Akhirnya pemerintah merubah status Pulau Batam dari sebuah desa menjadi kota madya yang dipimpin oleh seorang walikota yang tidak memiliki anggaran sendiri dan tidak memiliki perangkat dewan perwakilan rakyat. Maka problem solving –nya di lahirkan pemerintah yaitu Kota Madya Administratif Batam dengan walikota pertamanya adalah Ir H. Usman Draman. Kota Madya Administratif adalah Kota Madya yang tidak memiliki anggaran sendiri, tidak memiliki DPRD dan masih ada pemerintahan desa.
Kondisi masyarakat sebelum masa pembangunan Sebelum masa pembangunan, Kota Batam masih berbukit dan di tumbuhi hutan belantara. Penduduknya berada di daerah pantai adalah orang melayu yang bermukim di Sei Jodoh dan Tanjung Uma, sedangkan suku Bugis banyak bermukim di Nongsa dan Batu Besar, lalu suku Melayu Asli yang di sebut juga suku laut banyak mendiami perairan Tanjung Riau. Di sebut suku laut karena memang hidupnya di laut dan berpindah-pindah tempat dengan maksud menyelamatkan diri ketika musim angin besar tiba. Umumnya mata pencaharian mereka adalah nelayan. Mereka di untungkan bila Imlek tiba. Pasalnya ikan Dinkis bisa berharga ratuan ribu rupiah perkilogram. Sedangkan suku Cina sendiri mendiami daratan Duriangkang dan tengah daratan. Pada umumnya mereka menguasai kebun karet dan menanam sayuran. Pekerjanya sebagian besar adalah orang dari Jawa yang senggaja datang untuk menjadi buruh perkebunan. Saat itu perkebunan karet menjadi sebuah komoditi eksport yang luar biasa. Mereka gulung tikar saat karet sintetis muncul serta terjadinya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, sehingga perkebunan mereka menjadi semak belukar. Sedangkan sebagian kecil suku Bawean, menjadikan Pulau Batam sebagi transit sebelum meneruskan tujuannya ke Singapore atau Malaysia. Hidup mereka yang bergerombol memunculkan nama sendiri Kampung Bawean, dan orang-orang lebih fasih menyebutnya Boyan, dan posisinya sekarang berada di belahan timur Jodoh. Bila jumlah penduduk Batam sebelum pembangunan tidak lebih dari enam ribu, hal itu wajar karena pulau yang hamper sama dengan Negara Singapore itu hanyalah sebuah pedesaan. Pulau Batam dalam masa pembangunan Pembangunan Pulau Batam di bangun oleh dua lembaga pemerintahan : Pembangunan pertama di bangun oleh pemerintah pusat melalui pembentukan Otorita Pembangunan Daerah Industri Pulau Batam. Masyarakat mengenalnya Otorita. Deretan yang menjabat Ketua Otorita antara lain, Letjen TNI Ibnu Sutowo, DR Sumarlin, Drs Radius Prawuro. Akan tetapi Batam mengalami kemajuan pesat saat di pimpin oleh Prof. DR. Ing BJ Habibie. Baik pertambahan jumlah penduduk maupun pembangunannya. Tahun 2004 jumlah penduduk Batam mencapai 500 ribu lebih jiwa. Sehingga penduduk Pulau Batam saat ini merupakan “Wajah Indonesia”. Karena Otorita Batam tidak bisa mengurusi penduduk yang semakin membludak, maka di jadikan status desa menjadi langsung Kota Madya, meskipun Kota Madya Administratif, tetap bukan Kota Administratif dan kini meningkat menjadi Pemerintahan Kota. Pembangunan kedua inilah yang di lakukan oleh Pemko Batam yang program awal pembangunannnya mengutamakan pembangunan masyarakat dari pulau-pulau. Seperti jalan, pelantar dan bangunan pendidikan. Dan kini pemko Batam telah merubah penduduknya menjadi mayoritas pekerja industry. Tak ayal lagi Batam di kembangkan menjadi kawasan industri menimbulkan kesan bahwa Batam merupakan “Kota Bursa Tenaga Kerja”, sehingga meningkatkan migrasi, terutama migrasi domestik ke Batam yang tidak bisa di hindari lagi.

About Serumpun Radio

Terimakasih telah berkunjung di Serumpun Radio.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply